Teguran Keras dari Langit Kramat Raya Untuk Ketum PBNU

Redaksi Indonesia News
0

Teguran Keras dari Langit Kramat Raya 
Untuk Ketum PBNU

Oleh: Dr Ali Murthado

Dalam bukunya Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, KH. Yahya Cholil Staquf menawarkan visi kepemimpinan NU yang revolusioner: bukan sekadar wadah keagamaan, melainkan proyek peradaban holistik yang bertujuan menciptakan tatanan dunia adil, harmonis, dan beradab, berlandaskan akhlak mulia serta kesetaraan hak. Visi ini mengajak NU melampaui ritualisme sempit, menuju peran transformatif dalam dinamika global.

Sayangnya, sejak Gus Yahya—seperti ia akrab disapa—memegang tampuk kepemimpinan PBNU pada 2021, organisasi ini justru didera polemik internal yang tak kunjung reda. Masalah-masalah ini lahir dari kebijakan organisasi yang kontroversial, menimbulkan prokontra antar-pengurus dan basis massa. Di balik gejolak itu, terlihat pola kepemimpinan yang cenderung sentralistik, di mana upaya "penataan" sering kali berujung pada penguatan kekuasaan pusat, seolah NU adalah piramida hierarkis ketat, bukan jaringan organik yang berbasis musyawarah.

Model Kepemimpinan Otoriter: Penularan dari GP Ansor ke PBNU

Kepemimpinan Gus Yahya tak lepas dari pengaruh adiknya, KH Yaqut Cholil Qoumas, yang saat menjabat Menteri Agama (2019–2024) sekaligus Ketua Umum GP Ansor. Yaqut dikenal dengan gaya otoriter: memecat kader yang dianggap tak selaras melalui SK Penggantian Antar Waktu (PAW), atau bahkan Karteker (pengangkatan pengurus sementara) massal terhadap PW dan PC Ansor yang menolak tunduk. Praktik ini menabrak tradisi NU yang egaliter, di mana pemecatan sepihak jarang terjadi tanpa mekanisme musyawarah mendalam.

Pengaruh ini menular ke PBNU, terutama karena sekitar 50% struktur tanfidziyah diisi oleh loyalis Yaqut—baik dari kalangan pejabat Kemenag maupun GP Ansor. Yaqut sendiri berperan krusial dalam kemenangan Gus Yahya di Muktamar 2021: memanfaatkan jaringan Kemenag yang luas (banyak pengurus NU di daerah adalah pegawai Kemenag) untuk menggalang dukungan terstruktur dan masif. Para suksesor ini pun dihadiahi posisi strategis di Kemenag atau perguruan tinggi keagamaan, menciptakan ikatan patron-klien yang rapat. Hasilnya, PBNU di bawah Gus Yahya mereplikasi "virus otoritarianisme" itu: aksi PAW dan Karteker menjadi budaya baru, mengubah NU dari organisasi berbasis konferensi menjadi alat kontrol vertikal.

Fakta ini menunjukkan kontradiksi mendasar. Gus Yahya kampanye dengan tagline "Menghidupkan Gus Dur"—merujuk KH Abdurrahman Wahid yang legendaris karena pluralisme dan anti-otoritarianisme. Namun, praktiknya justru kebalikannya: Gus Dur dulu menolak sentralisasi, mempromosikan otonomi cabang untuk menjaga vitalitas basis. Sebaliknya, Gus Yahya mengedepankan komunikasi administratif prosedural—bukan gagasan peradaban seperti visi bukunya—yang membuat PW dan PC merasa dijadikan pion, bukan mitra. Ini bukan sekadar gaya manajemen; ini erosi nilai Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah, di mana musyawarah (bukan dekrit) adalah inti kepemimpinan. Konsekuensinya, loyalitas basis retak: survei internal NU (non-resmi, 2024) menunjukkan 40% pengurus tingkat kabupaten merasa "terpinggirkan" oleh intervensi pusat, memicu resistensi diam-diam yang kini meledak menjadi tuntutan mundur dari Syuriyah PBNU.

Strategi Melanggengkan Kuasa: Kontrol Konferensi dan Karteker sebagai Senjata

Pola ini paling nyata dalam strategi Gus Yahya menuju periode kedua (2026–2031): mengubah "penataan organisasi" menjadi alat untuk membersihkan "musuh internal" dan memastikan konferensi menghasilkan kandidat loyal. Dua taktik utama:

1. Pengkondisian Konferensi Wilayah dan Cabang: Gus Yahya mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan PWNU/PCNU meminta restu pusat untuk konferensi akhir masa jabatan. Ini bertentangan dengan AD/ART NU, yang hanya mensyaratkan restu Rois Syuriyah untuk pemilihan tanfidziyah (bukan konferensi itu sendiri). AD/ART Pasal 12–15 menegaskan konferensi adalah kewajiban mandatori tanpa ijin. Jika adapun sifatnya hanya pemberitahuan, bukan ijin yang berpotensi ada penolakan. Penolakan justru pelanggaran, karena bisa membuat masa jabatan "macet" dan organisasi lumpuh. Strategi ini memungkinkan PBNU memveto calon tak selaras: jika konferensi direncanakan tanpa "representasi" kepentingan pusat, ijin ditolak hingga masa jabatan habis. Lalu, SK Karteker dikeluarkan, menunjuk PJ ketua baru yang loyal—sepihak, tanpa konferensi. Contoh ikonik: penggantian KH Marzuki Mustamar sebagai Ketua PWNU Jatim (2024), di mana konferwil ditunda hingga SK habis, lalu diganti komposisi pro-PBNU. Langkah ini mirip taktik Machiavellian "divide et impera", di mana otonomi daerah dikorbankan demi homogenitas ideologis. Dampaknya, demokrasi internal NU terkikis; konferensi yang seharusnya ruang aspirasi jadi sebatas formalitas, yang pada akhirnya mengurangi legitimasi Gus Yahya di mata kiai sepuh yang menghargai tradisi musyawarah. 

2. Karteker dan Pembatalan Hasil Konferensi: Sejak 2022, setidaknya 12 PWNU dan 16 PCNU dikarteker, sering diawali penolakan konferensi. Daftar ini mencerminkan pola sistematis: target utama adalah wilayah kuat rival politik (seperti basis PKB di Jatim), di mana pengganti diisi loyalis Ansor/Kemenag.

Berikut daftar PWNU dan PCNU yang dikarteker sepanjang kepemimpinan Gus Yahya : 
Karteker PCNU Surabaya 2022
Karteker PCNU Brebes 2022
Karteker PCNU Karawang 2022
Karteker PCNU Langkat Sumut 2022
Karteker PCNU Pesawaran Lampung 2023
Karteker PCNU Jombang 2023
Karteker PCNU Ngawi 2023
Karteker PCNU Tanjungbalai Sumur 2023
Karteker PCNU Kepri 2023
Karteker PCNU Kuburaya Kalbar 2024
Karteker PCNU Banyuwangi 2024
Karteker PCNU Kota Serang 2024
Karteker PCNU Makasar 2024
Karteker PCNU Kolaka 2025
Karteker PCNU Tapanuli Tengah Sumur 2025
Karteker PCNU Kota Pekalongan 2025
Karteker PWNU Kalbar 2022
Karteker PWNU Jatim 2024
Karteker PWNU Papua 2023
Karteker PWNU Kepri 2023
Karteker PWNU Kaltara 2023
Karteker PWNU Kalsel 2023
Karteker PWNU Lampung 2024
Karteker PWNU Maluku 2024
Karteker PWNU Kalsel 2024
Karteker PWNU Banten 2024
Karteker PWNU Riau 2024
Karteker PWNU Sumsel 2024

Batalkan Hasil Konfercab :
PCNU Jombang 2022
PCNU Karawang 2022
PCNU Karawang 2022
PCNU Bogor 2025
PCNU Wonogiri 2025
PCNU Blitar 2024
PCNU Bogor

Menolak rencana Konfercab:
PCNU Ngawi 2023
PCNU Banyuwangi 2023
PCNU Rembang 2024
PCNU Bojonegoro 2024
PWNU Seluka Bengkulu 2024

Rentetan ini tentu bukan kebetulan, melainkan blueprint untuk Muktamar 2026. Dengan mengontrol 60–70% PW/PC (estimasi berdasarkan data internal NU), Gus Yahya berusaha memastikan suaranya dominan sebagai modal pencalonan. Inilah ironisnya: visi "peradaban harmonis" di bukunya yang menekankan kesetaraan, tapi dalam praktiknya menciptakan oligarki struktural. Dampak jangka panjang? Fragmentasi dan kekecewaan. Bagaimana mungkin para pengurus di level wilayah dan cabang yang niatnya begitu tulus hanya untuk hidmah pada NU, diperlakukan secara tidak elegan.

Pada akhirnya, "Keramat NU" mulai muncul untuk "membersihkan" pemimpin arogan, seperti teguran Syuriyah terkini soal undangan Peter Berkowitz (2025), yang dianggap mencemarkan nama baik NU. 

Jika rentetan geger PBNU ini dipahami secara reflektif, Gus Yahya akan menyadari bahwa ia sedang ditegur kesekian kali. Konsolidasi struktural telah mengabaikan etika peradaban yang ia janjikan. Alamat PBNU di Jalan Kramat Raya bukan sekadar lokasi; itu simbol keramat NU yang menuntut ikhlas berkhidmah, bukan ambisi dua periode.

Gus Yahya seharusnya merefleksikan: komunikasi ke bawah harus gagasan-driven, seperti Gus Dur, bukan prosedural. Koordinasi dengan PW/PC wajib dilakukan secara etis, menghormati AD/ART sebagai pondasi. 

Namun nasi telah menjadi bubur. Rapat harian Suriah telah meminta ke Gus Yahya mundur. Karena itu sebagai santri tentu yang wajib hukumnya taat pada Kyai tak perlu membantah. Anggap saja keputusan mundur sebagai konsekuensi telah melakukan kesalahan, demi keutuhan organisasi. NU bukan milik satu orang; ia milik umat yang haus harmoni, bukan hierarki.

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

INDONESIANEWS.MY.ID

Media Indonesia Maju
To Top