Oleh: Izzul Madid
Pada pembukaan tulisan itu, Kiai Afifuddin mengutip QS. al-An‘ām: 59 yang pada intinya bahwa tidak ada yang mengetahui kunci-kunci tentang hal gaib kecuali Allah. Ayat ini adalah pembuka yang pas dan merupakan intisari dari seluruh isi tulisan. Dengan ayat ini, Kiai Afifuddin hendak menjelaskan bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak layak, tidak perlu, atau tidak mungkin diketahui manusia lain. Ada perkara yang tidak boleh diungkapkan seluruhnya, ada rahasia yang tidak baik bila dibuka, dan ada keputusan yang alasannya hanya diketahui segelintir orang saja. Catat dan perhatikan ayat ini sebagai intisari.
Pertanyaannya, mengapa bukan mengutip ayat yang menjelaskan kepatuhan terhadap ulil amri sebagai pembuka tulisan? Mengapa yang dipilih justeru merupakan ayat yang menjelaskan tentang rahasia, ketidakterjangkauan manusia, dan pengetahuan terbatas? Hal ini untuk mempersiapkan pembaca dan pendengar bahwa tidak semua akan diungkap, bahkan kunci rahasia (ghaib) tidak akan diekspos.
Lanjut pada point pertama. Kiai Afifuddin menjelaskan bahwa Rais Am diposisikan sebagai ulil amri dalam organisasi. Tidak bisa sebuah organisasi dipimpin oleh dua orang dengan kekuasaan dan kewenangan yang setara. Bukankah bila di dunia ada dua tuhan yang setara, maka dunia pasti akan rusak (QS. Al-Anbiya’: 22)? Hal ini juga disimpulkan oleh Kiai Afifuddin sudah sesuai dengan AD/ART; Rais ‘Am adalah penguasa tertinggi di tubuh PBNU. Lalu, posisi Ketua Umum bagaimana? Bukakah keduanya dipilih oleh muktamirin?
Rais ‘Am dipilih oleh tim formatur (AHWA) yang mana anggotanya dipilih oleh muktamirin. Sedangkan para calon ketua umum baru bisa dipilih oleh muktamirin setelah disetujui oleh Rais ‘Am terpilih. AD/ART menyatakan pemilihan Ketum Tanfidziyah baru sah apabila telah mendapatkan rekomendasi/taqrir (persetujuan) dari Rais ‘Aam terpilih. Hal ini menunjukkan bahwa secara hierarki, Rais ‘Aam adalah gatekeeper tertinggi, memastikan bahwa calon Ketum adalah sosok yang layak memimpin Tanfidziyah.
Karena ulil amri yang hakiki dalam tubuh PBNU adalah Rais ‘Am, maka segala keputusannya harus diikuti oleh jajaran PBNU senyampang tidak bertentangan dengan syariat. Nah, dalam hal menetapkan atau memberhentikan jabatan seorang pengurus PBNU, tentu tidak menyalahi syariat bila (1) tidak dilakukan sewenang-wenang (2) ada alasan kuat untuk menetapkan atau menghentikan.
Point kedua, Kiai Afifuddin mengutip kaidah “al-Yaqin la Yuzalu bi al-Syak”. Dengan kaidah ini, Kiai Afifuddin hendak menjelaskan bahwa alat bukti dan alasan pemecatan terhadap Gus Yahya sudah sampai pada tingkatan “al-yaqin”. Tingkatan ini adalah tingkatan yang sangat sulit digapai dalam ilmu fikih atau ushul fikih. Tidak semua informasi bisa diterima dan diyakini sebagai informasi yang benar. Ada syarat-syarat yang cukup ketat agar informasi bisa sampai pada taraf ‘diyakini benar’, salah satunya adalah melalui jalur riwayat mutawatir. Riwayat mutawatir tidak hanya tentang jumlah responden dan berbagai sumber, tetapi juga harus bisa dipastikan bahwa masing-masing responden dan sumber tidak mungkin bermufakat memalsukan informasi. Tampaknya, pihak Syuriah sudah memastikan hal ini. Apa yang sudah dipastikan? Kembali kepada QS. al-An‘ām: 59.
Point Ketiga, Kiai Afifuddin mengutip kaidah “Ta’khir al-Bayan”. Kaidah ini sebenarnya bisa menjadi senjata makan tuan. Kaidah ini menghendaki bahwa tidak boleh terlambat memberi penjelasan dan penyelesaian. Tentu para netizen bisa mengklaim, “Bukankah sekarang waktu yang tepat untuk memberikan penjelasan kepada publik mengapa Syuriah sebegitu ngototnya untuk memakzulkan Gus Yahya? Kalau memang ada alasan kuat selain yang sudah mencuat di publik, harusnya sekarang waktu yang tepat untuk dijelaskan agar prahara PBNU bisa selesai.”
Secara tekstual, benar bahwa publik berada pada waqt al-hajah (masa kebutuhan) akan bayan dari Syuriah dan secara textual pula, bayan tidak diberikan. Namun, hal ini menjadi make sense bila bayan yang dimaksud adalah bayan publik. Dalam siyasah syar’iyyah, bayan tidak wajib disampaikan kepada publik, tetapi cukup kepada pihak-pihak yang berkepentingan, terutama bila bayan yang disampaikan akan menimbulkan hal-hal yang berdampak lebih besar bila diexpose ke publik. Dari ini, menyambung pada point berikutnya.
Point Keempat, Kiai Afifuddin menggunakan kaidah ta’arudul mafsadatain. Kaidah ini juga bisa menjadi senjata makan tuan. Publik menilai bahwa pemakzulan Gus Yahya tidak sebanding dengan lahirnya friksi dan gonjang ganjing yang aroma busuknya menyebar tanpa bisa dibendung. Netizen menilai, “Mengapa tidak diselesaikan saja masa jabatan Gus Yahya yang sisa seumuran jagung? Daripada NU menjadi hujatan netizen se Nusantara dan terpecah belah.” Tentu, hampir semuanya sepakat dengan pandangan ini. Bahwa kondisi NU saat ini sudah sangat memprihatinkan. Bahkan sudah terjadi polarisasi; kelompok sultan dan kelompok kramat. Namun, tampaknya, alasan sebenarnya usaha memakzulkan Gus Yahya dinilai memberi dampak lebih besar daripada dampak yang ada saat ini sehinga tidak seharusnya untuk disampaikan kepada publik. Dengan hal yang demikian, maka tidak salah bila netizen kemudian berusaha menafsirkan atau menerka. Tetapi, Kiai Afif sudah mengingatkan melalui QS. al-An‘ām: 59 pada pembukaan tulisan.
Point Kelima, Kiai Afifuddin memosisikan AD/ART sebagai furu’, sedangkan jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid sebagai ushul. Dari point ini, Kiai Afifuddin hendak mengajak pembaca dan pendengar mampu membedakan mana yang berupa ushul yang tsawabit dan mana yang berupa furu yang memiliki karakteristik mutaghayyirat. Posisi AD/ART merupakan salah satu hal yang sifatnya mutaghayyirat. Hal ini terbukti dengan adanya penetapan AD/ART tiap kali Muktamar; ada perubahan atau penyesuaian AD/ART. Posisinya sebatas aturan tata kelola organisasi; peraturan organisasi yang disepakati bersama melalui Muktamar. Karana alasan ini, kemudian sebagian netizen mengatakan bahwa mematuhi keputusan bersama hukumnya adalah wajib berdasarkan berbagai kaidah fikih, diantaranya “al-muslimuna ‘ala syurutihim”.
Namun, yang luput dari pandangan para netizen adalah apa yang disampaikan oleh Kiai Afif di point kelima ini. Selaras dengan ini, pandangan Mahfud MD tentang kepastian hukum vs keadilan hukum vs kemaslahatan hukum. Seorang hakim atau pemegang kuasa harus bisa memastikan bahwa hukum dijalankan sesuai dengan yang telah disepakati bersama; hitam di atas putih. Tetapi, bila dengan melaksanakan hukum sesuai hitam-putih akan memberikan putusan yang tidak adil, maka tekstualitas hukum harus dikalahkan demi mewujudkan keadilan. Demikian pula bila putusan diberikan demi memaksakan keadilan tetapi dapat mengganggu stabilitas dan kemashlahatan umum yang lebih besar atau bisa memberi dampak buruk yang lebih besar, maka keadilan personal atau golongan dapat diabaikan demi kemashalatan yang lebih luas.
Pada point terakhir, tampak Kiai Afifuddin sebagai orang yang berusaha memahami Gus Yahya. Bahwa apa yang terjadi padanya saat ini, tidak mengurangi kapasitas dan kapabilitasnya sebagai seorang tokoh besar. Hanya saja, Gus Yahya terjebak pada situasi dan kondisi yang mengharuskannya mengambil sikap-sikap yang “dianggap salah” oleh Syuriah. Kiai Afifuddin menggunakan diksi faltat al-tarikh, yang dalam bahasa arab artinya kejadian yang tiba-tiba; tanpa rencana; kondisi yang tidak ideal. Apa yang terjadi pada Gus Yahya adalah peristiwa besar yang tidak ideal, berlangsung cepat, dan bukan sesuatu yang diharapkan—tapi terjadi karena dinamika manusia.
Ala Kulli hal, nasihat yang tepat bagi kita semua saat ini adalah
لو سكت من لا يدري لقل الخلاف بين الخلق
Repost dari akun FB: https://web.facebook.com/PondokPesantrenSalafiyahAlAziz tanggal 13-12-2025


