PROBLEMATIKA PERADILAN PERKARA PEMILU
Oleh: DWI NUGROHO
(Constitutional Lawyer di Elita Lubis&Partners, Tenaga Ahli DPP PKB)
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan instrumen penting dalam demokrasi, karena untuk mengukur kualitas negara dalam perlindungan (to protect), penghormatan (to respect) dan pemenuhan (to fulfil) hak sipil dan politik warga negara (civil and political rights) terutama hak pilih dan dipilih. Oleh sebab itu, pemilu yang diselenggarakan oleh setiap negara harus dapat memenuhi kaidah-kaidah dasar atas pemuliaan harkat dan martabat kemanusiaan universal, yakni bebas (free), adil (fair) dan demokratis (democratic). Ketiga kaidah itu tak boleh dipisahkan melainkan saling menopang satu dengan yang lain secara kumulatif.
Maka, perlu dirancang sistem penegakan hukum pemilu yang adil untuk mengadili aneka bentuk kejahatan dan pelanggaran proses penyelenggaraan pemilu. Sebab harus diakui bahwa pemilu sebagai sarana demokrasi untuk mewadahi kompetisi antar peserta pemilu untuk meraih kekuasaan politik dalam rangka menyelenggarakan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Di titik inilah instrumen hukum pemilu, yakni peraturan perundang-undangan (substance), lembaga dan aparatur penegakan hukum pemilu (structure), dan budaya hukum masyarakat (culture) harus saling berkorespodensi, berkoherensi dan bersinkronisasi.
Namun demikian, desain penegakan hukum yang diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu cenderung melahirkan ketidakpastian hukum akibat dari putusan antar lembaga peradilan dalam perkara pemilu yang tumpang tindah. Hal ini dapat terjadi karena beragamnya pintu untuk mencari keadilan dalam perkara pemilu (many rooms to justice), yakni pintu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hal ini sangat terkait dengan enam model penegakan hukum pemilu yang diatur dalam UU Pemilu, yakni pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, sengketa proses pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan sengketa hasil pemilu.
Penegakan Hukum Pemilu
Pertama, pelanggaran administrasi pemilu, yaitu pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi dalam setiap tahapan pelaksanaan Pemilu Penyelenggaraan Pemilu. Sesuai ketentuan Pasal 461 UU Pemilu, aparatur penegakan pelanggaran administrasi Bawaslu RI, Bawaslu Propinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Bawaslu diberi otoritas kewenangan dalam penyelesaian pelanggaran administratif yang mencakup: perbaikan administrasi, tata cara, prosedur atau mekanisme yang sesuai dengan perundang- undangan; pemberian teguran tertulis, penjatuhan sanksi dengan tak diikutsertakan dalam tahapan pemilu tertentu, serta sanksi dalam bentuk lain. Sesuai ketentuan Pasal 462 UU Pemilu kewenangan Bawaslu dalam memberikan sanksi ini bersifat mengikat bagi KPU di semua tingkatan, dan dalam tempo 3 (tiga) hari sejak putusan Bawaslu mengenai pelanggaran administratif itu dibacakan, jika tidak dilaksanakan oleh KPU di semua tingkatan maka KPU dapat diadukan ke DKPP. Kedua, pelanggaran pidana/kejahatan pemilu, yaitu kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilu. Lembaga peradilan diberi otoritas untuk melakukan penegakan hukum pelanggaran/ kejahatan pemilu ini. Ketiga, sengketa proses pemilu, yaitu sengketa antar peserta Pemilu, sengketa antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU. Bawaslu diberi kewenangan oleh UU Pemilu untuk menyelesaikan sengketa proses pemilu ini sesuai ketentuan Pasal 468 Ayat (2) UU Pemilu. Pasal 469 UU Pemilu menegaskan, bahwa putusan Bawaslu dalam sengketa proses pemilu ini semua bersifat final dan mengikat bagi para pihak kecuali terkait dengan 3 (tiga) hal, yakni terkait dengan verfikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan penetapan pasangan Capres/Cawapres. Ketiga hal tersebut dapat diajukan banding ke PTUN dan putusan PTUN terkait tiga hal tersebut bersifat final dan mengikat.
Keempat, pelanggaran kode etik pemilu, yaitu pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu. Dan kelima, perselisihan hasil pemilu, yaitu persengketaan pemilu akibat perbedaan penghitungan penetapan hasil pemilu antara penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu yang memengaruhi perolehan kursi, terpenuhinya parliamentary threshold (PT) atau penentuan calon terpilih atau penentuan calon yang berhak mengikuti pemilu putaran kedua atau urutan perolehan suara atau bersifat kuantitatif bukan kualitatif.
Studi Kasus Putusan Peradilan Kasus Pemilu
a. Kasus Pencalonan Ketua DPD RI
Dua lembaga hukum tertinggi di negeri ini, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan hukum yang saling berseberangan dan menjadi preseden buruk dalam bernegara hukum dalam soal uji materi (judicial review) terkait dengan syarat pencalonan anggota DPD RI (Riwanto: 2018). Putusan MK No.30/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018, menyatakan bahwa Calon Anggota DPD RI tidak boleh berasal dari Partai Politik. Sedangkan Putusan MA No. 65 P/ HUM/2018 tanggal 25 September 2018 sebaliknya menyatakan calon Anggota DPD boleh berasal dari Partai Politik. Dua keputusan ini membuat KPU sebagai pelaksana pemilu menghadapi dilema dalam hal mencoret calon anggota DPD yang berasal dari Parpol.
b. Kasus PBB, PKPI dan Partai Prima Tahap Verifikasi Parpol
Pada tanggal 17 Februari 2018 mengenai hasil rekapitulasi verifikasi parpol secara nasional menyimpulkan, dari 16 parpol yang masuk ke tahap verifikasi, ada 14 parpol dinyatakan memenuhi syarat dan dua parpol, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu 2019. Aspek yang dinilai dalam verifikasi administrasi dan faktual oleh KPU mencakup keberadaan pengurus inti parpol di tingkat pusat, keterwakilan perempuan minimal 30 persen, dan domisili kantor tetap di tingkat DPP. Kemudian, di tingkat Provinsi, ada tambahan syarat yakni memenuhi keanggotaan di 75 persen Kabupaten/ Kota di 34 provinsi. Syarat terakhir yakni status sebaran pengurus sekurang-kurangnya 50 persen kecamatan pada 75 persen Kabupaten/Kota di 34 provinsi.
Penyebab PBB tidak lolos verifikasi karena di kabupaten Manokwari Selatan Propinsi Papua dalam verifikasi faktual anggota PBB kurang enam orang. Keenam orang ini datang terlambat ke KPU karena surat panggilan untuk mereka tak kunjung diterima. Mereka tinggal jauh di pegunungan Papua dan harus berjalan kaki ke di kabupaten. Kesulitan komunikasi dan transportasi di Manokwari Selatan ini sudah disampaikan ke KPU, tetapi lembaga pengawas pemilu itu tetap menolak.
PKPI tidak lolos verifikasi karena KPU tidak cermat dan terjadi peyimpangan dalam menjalankan proses verifikasi parpol calon peserta Pemilu 2019. Penyimpangan yang dimaksud terjadi di sejumlah daerah ada kantor cabang PKPI yang tidak didatangi verifikator KPU. Kejadian ini terjadi di beberapa daerah yang berada di Jawa Tengah dan Papua. Di daerah-daerah dengan kondisi geografis yang sulit.
Berdasarkan ketentuan Pasal 469 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, putusan tentang verifikasi Parpol dapat diajukan gugatan ke Bawaslu. Maka PBB dan PKPI mengajukan KPU gugatan ke Bawaslu. Namun Bawaslu RI menolak permohonan gugatan PKPI terhadap KPU RI. Bawaslu menilai, persyaratan kepengurusan dan keanggotaan PKPI secara kumulatif tidak memenuhi syarat (TMS) di 4 provinsi dan 73 kabupaten/kota. Terhadap gugatan PBB, Bawaslu menilai bahwa PBB telah memenuhi syarat. Hal itu berdasarkan pertimbangan verifikasi faktual berita acara yang menyatakan status kepengurusan, keterwakilan perempuan 30 persen, domisili kantor dan keanggotaan pada Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat, memenuhi syarat.
PKPI kemudian melayangkan gugatan terhadap KPU ke PTUN, yang justru memenangkan PKPI dan merekomendasikan ke KPU untuk segera menetapkan PKPI sebagai peserta Pemilu. Dalam pertimbangannya, hakim PTUN menyebut KPU tidak cermat dan keliru ketika masih berpegang pada Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) sebagai acuan verifikasi. Menurut majelis, putusan MK Nomor 53 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, menyebut Sipol tidak menjadi patokan baru verifikasi terhadap partai politik dan KPU diminta wajib memverifikasi faktual terhadap seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2019.
Dalam tahapan Pemilu 2024, Partai Prima mengaku mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum KPU ke PN Jakpus. Sebab, Partai Prima tak lolos verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 2024.
"Yang kita ajukan ke sana adalah PMH, perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, yaitu KPU, yang kemudian telah menghambat hak politik kami sebagai warga negara yang mendirikan partai politik untuk ikut dalam pemilu," ujar Ketum Partai Prima, Agus Jabo.
Selain itu, Partai Prima mengaku sudah beberapa kali melakukan upaya hukum sesuai UU. Pada saat tidak lolos verifikasi, Partai Prima sudah melakukan langkah hukum ke Bawaslu dan PTUN. "Tetapi hasil proses upaya hukum yang kami lakukan itu buntu," ucapnya.
Atas putusan PN Jakpus, Partai Prima meminta haknya dipulihkan. Yakni Partai Prima meminta hak mereka sebagai partai politik dan menjadi peserta pemilu.
"Kami meminta agar hak kami sebagai warga negara untuk berpolitik, dan mendirikan partai politik, dan menjadi peserta pemilu harus dipulihkan," kata Agus. Tak hanya itu, Partai Prima meminta semua pihak menghormati putusan PN Jakpus. Partai Prima mengingatkan hal itu untuk semua pejabat, ketua umum partai, hingga ahli hukum.
"Kami mengimbau agar semua pihak menghormati, semua pihak menghormati putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut. Siapa pun, baik itu pejabat negara, ketua partai politik, maupun ahli-ahli hukum, semua harus menghormati putusan hukum yang sudah diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," imbuhnya.
Menanggapi putusan PN Jakarta Pusat tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menduga ada permainan di belakang putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan perdata Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum. Menurut dia, putusan itu salah alamat dan salah dari sudut pandang keilmuan hukum.
Pesan Mahfud itu dibagikan di akun media sosial pribadinya, Sabtu (4/3/2023). Pesan itu disampaikan saat Mahfud hadir dalam diskusi ”NU Abad Kedua: Ke Mana Hendak Menuju?”, di Jakarta, Jumat (3/3/2023) malam.
”Ini urusan hukum administrasi kok masuk ke hukum perdata. Ada main mungkin di belakangnya (putusan). Iyalah, pasti ada main,” ujar Mahfud.
Mahfud menjelaskan, putusan majelis hakim PN Jakpus menyalahi ilmu hukum. Jika berkaca pada prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman, putusan hakim memang tidak bisa diganggu gugat. Hakim juga memiliki independensi dalam memutus perkara yang ditangani. Namun, putusan PN Jakpus yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang beranggotakan Tengku Oyong, Bakri, dan Dominggus Silaban itu dinilainya salah dari sudut pandang aturan hukum. Seharusnya hakim bisa diadukan ke dewan disiplin atau dewan kode etik.
”Kalau di profesi kedokteran itu, kalau ilmunya salah, bisa diadukan ke Dewan Disiplin Dokter. Nah, seharusnya ini juga bisa diadukan ke Dewan Kode Etik yang terkait dengan ilmu,” ujarnya.
Putusan itu salah secara ilmu hukum karena perkara kepemiluan adalah urusan administrasi negara. Seharusnya perkara diajukan ke pengadilan tata usaha negara. Selain menyalahi ilmu hukum, putusan itu juga melanggar Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan Atau Pejabat Pemerintahan.
”Sudah jelas kalau (perkara) pemilu itu pengadilannya di sana (PTUN), kok dia yang memutus (secara perdata). Sudah ada petunjuk dari MA, kalau ada urusan administrasi masuk, (seharusnya) ditolak,” ucapnya.
Karena putusan itu salah kamar, Mahfud meminta penyelenggara pemilu mengabaikan saja putusan tersebut. Bahkan, jika telah diajukan banding dan KPU dikalahkan, putusan itu tetap tidak bisa dieksekusi karena salah alamat. Mahfud berpandangan, pernak-pernik seperti itulah yang akan mewarnai perjalanan kepemiluan di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan tahapan pemilu akan tetap berjalan. Pemerintah juga akan melawan habis-habisan putusan yang menurut dia salah kamar itu.
Dia juga mengaku sudah menelepon KPU untuk melakukan langkah strategis dua perlawanan. KPU bisa menempuh jalur hukum banding. Sementara pemerintah juga akan bersuara bahwa putusan PN Jakpus itu tidak bisa dieksekusi karena salah alamat.
Lembaga Penyelesaian Hukum Pemilu (LPHP) Secara Evolutif
Guna menambal kelemahan tumpang tindih dan ketidakpastian hukum putusan pengadilan dalam kasus pemilu, maka di masa depan (ius constuendum) diperlukan gagasan pembentukan Lembaga Penyelesaian Hukum Pemilu (LPHP) di Indonesia (Quasi Judiciary). Nama ini dipilih sebagai alternatif untuk menghindari nama "Pengadilan" karena akan berkonsekuensi hukum ketatanegaraan yang rumit antara lain: Pertama, kaitannya dengan dasar hukumnya Pasal 24 UUD 1945 yang mengatur tentang kekuasaan peradilan di Indonesia harus diamandemen terlebih dahulu.
Kedua, hubungannya dengan Mahkamah Agung (MA) yang merupakan induk "Peradilan Khusus' di Indonesia. Padahal selama ini MA belum bersedia membuat peradilan khusus pemilu di bawah MA. Ketiga, Peradilan khusus pemilu membawa konsekuensi pada ketaatan asas sistem peradilan dimana aparaturnya harus berstatus jabatan "hakim" dengan mematuhi aneka prosedur rekrutmennya dan tunduk padak UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pembentukan LPHP ini dapat mengadopsi dari praktek di negara Uruguay yang dikontektualisasikan dengan realitas sosiologis di Indonesia. Maka mendirikan LPHP (Quasi Judiciary) adalah keniscayaan dengan mendesain politik hukumnya ke arah evolutif dengan tanpa melakukan amandemen terhadap Pasal 24 UUD19 45 tentang Kekuasaan Peradilan, melainkan melalui revisi terhadap UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan menambah kamar baru di lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung (MA), seperti halnya pengadilan tindak pidana korupsi sebagai bagian dari kelanjutan perintah ketentuan Pasal 157 Ayat (1) UU No. 10/2016 tentang Pilkada.
Namun dapat juga LPHP ini berdiri sendiri tanpa terkait dengan Pasal 24 UUD 1945 dan UU No. 48/2009 serta MA, melainkan berdirinya LPHP ini sebagai konsensekuensi politik hukum (legal policy) penegakan hukum pemilu yang efektif dan berkepastian hukum. Sehingga cukup dirumuskan ke dalam ketentuan UU No.7/2017 tentang Pemilu tentang pengaturan LPHP ini.
Cara lain yang paling rasional adalah merevitalisasi fungsi Bawaslu yang ada saat ini sebagai LPHP (Quasi judiciary) di tingkat nasional. Adapun keanggotaanya dapat menggunakan pendekatan kombinasi antara profesional (Hakim dan Akademisi Hukum) dan non-partisan (dari masyarakat sipil) melalui pemilihan di DPR.
Adapun kewenangan Bawaslu dalam perspektif Quasi Judiciary ini untuk menyelesaian kasus pelanggaran administrasi, sengketa proses, dan kode etik pemilu yang putusannya bersifat final dan mengikat. Sedangkan sengketa hasil pemilu diselesaikan melalui MK RI sesuai ketentuan Pasal 34C UUD 1945.
Karena itu Bawaslu didesain lebih beroreintasi pada penegakan hukum dengan sanksi administrasi bukan pidana (Haris, ed., 2016:161). Karena pada realitasnya sanksi admnistrasi berupa membatalkan keikutsertaanya dalam proses pemilu jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan adanya sanksi pidana yang dalam banyak putusan hakim hanya menjatuhkan sanksi percobaan dan cenderung tidak memberi efek jera pada pelaku pelanggaran dan kejahatan dalam proses pemilu. Oleh karena itu dengan peningkatan Bawaslu sebagai LPHP (Quasi Judiciary), maka perlu menghilangkan peran DKPP, kewenangan Bawaslu dalam soal pengawasan dikurangi dan lebih didorong ke penindakan. Sedangkan fungsi pencegahan pelanggaran pemilu dapat diletakkan dalam lembaga internal Bawaslu dalam bentuk Lembaga Penelitian dan Pegembangan (Litbang), sedangkan fungsi pengawasan pemilu diserahkan pada partisipasi publik dan pemantau pemilu.
Selain itu, juga diperlukan untuk menghapuskan fungsi Bawaslu untuk memberikan rekomendasi kepada KPU, namun putusannya bersifat mengikat dan final saat dibacakan. Untuk memperkuat Bawaslu diperlukan penguatan Bawaslu dengan memberikan kewenangan Bawaslu untuk memiliki hak panggil paksa kepada setiap pelanggar administrasi, sengketa proses, pidana dan kode etik pemilu.
Konklusi
Model dan kewenangan antar lembaga penegak hukum pemilu berdasarkan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu diintrodusir kedalam 5 (lima) ragam model penegakan hukum pemilu, yakni: pelanggaran administras pemilu, dimana aparatur penegakan pelanggaran administrasi terdiri atas Bawaslu RI, Bawaslu Propins dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Bentuk putusannya meliputi perbaikan administrasi, tata cara, prosedur atau mekanisme yang sesuai dengan perundang- undangan serta penjatuhan sanksi administrasi. Kedua pelanggaran pidana/kejahatan pemilu, dimana lembaga peradilan diberi otoritas untuk melakukan penegakan hukum pelanggaran/kejahatan pemilu, dengan terlebih dahulu ditempuh proses panjang melalui Bawaslu Penyidik, Jaksa baru ke Pengadilan. Ketiga, sengketa proses pemilu, yaitu sengketa antar peserta pemilihan, sengketa antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Bawaslu diberi kewenangan oleh UU Pemilu untuk menyelelesaikan sengketa proses pemilu. Keempat pelanggaran kode etik pemilu, yaitu pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu. Aparaturnya adalah DPKPP. Kelima, perselisihan hasil pemilu, dimana lembaga penegaknya adalah MK RI.
Bentuk putusan antar lembaga peradilan dalam perkara pemilu yang tumpang tindih dan mengakibatkan ketidakpastian hukum antara lain adalah Putusan MA dan MK yang berbeda dalam syarat pencalonan anggota DPD RI. Dimana MK melarang anggota Parpol menjadi Calon anggota DPD sedangkan MA memperolehkannya. Faktor yang mempengaruhi tumpang tindih putusan antar lembaga peradilan dalam perkara pemilu antara lain, yaitu beragamnya pintu dalam memperoleh kedailan (many room to justice) dan inkonsistentensi rujukan sistem hukum. Model ideal penegakan hukum pemilu guna menciptakan keadilan dan kepastian hukum adalah perlunya penyatuatapan pengujian peraturan perundang undangan dalam satu lembaga peradilan, yakni MK RI dan perlunya didesian Lembaga Penyelesaian Hukum Pemilu (LPHP) dengan merevitalisasi Bawaslu sebagai Quasi Judiciary dengan cara meletakkan prinsip politik hukum evolutif tanpa perlu amandemen terhadap Pasal 24 UUD 1945 kekuasaan peradilan, namun cukup merevisi UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan membentuk kamar baru di lingkungan peradilan umum berupa LPHP atau tanpa di bawah kamar MA melainkan berdiri sendiri sebagai bentuk politik hukum (legal policy) penegakan hukum pemiluyang efektif. Adapun kewenangan Bawaslu adalah menyelesaikan kasus pelanggaran administrasi, sengketa proses, dan kode etik pemilu yang putusannya bersifat final dan mengikat, dan sanksinya tidak lagi berupa sanksi pidana dan denda melainkan sanksi administrasi berupa pelarangan dalam mengikuti tahapan dan proses pemilu. LPHP ini sebagai alternatif karena jika menggunakan nama Peradilan, maka boleh jadi MA tidak bersedia. Justru dengan peradilan khusus di bawah MA, maka MA akan mengambil semua kewenangan penegakan hukum pemilu dan konsekuensinya Bawaslu dibubarkan karena aparatnya harus berkedudukan sebagai hakim sebagaimana dipraktekkan dalam sistem peradilan di Indonesia. Jika mendesain Bawaslu mirip seperti KPPU sebagaimana dimaksud UU No.5/1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Tidak Sehat, maka putusan KPPU tidak bersifat final dan mengikat maka jika Bawaslu disamakan dengan KPPU akan berpotensi kasus hukum pemilu tak berkepastian hukum karena tidak bersifat final dan mengikat.
Rekomendasi mengacu kepada kesimpulan tersebut diatas, maka rekomendasi yang diajukan dalam artikel ini adalah sebagai berikut: Pertama, DPR dan Presiden perlu segera merevisi UU No.7/2017 tentang Pemilu terutama terkait dengan penegakan hukum pemilu agar tidak lagi memasukkan konsep 5 model penegakan hukum pemilu, melainkan cukup satu model saja.
Kedua, perlunya segera merancang blue print (cetak biru) sistem peradilan khusus pemilu dengan melakukan tindakan evolusi dengan mendesian peradilan khusus pemilu dan merevitalisasi Bawaslu sebagai Lembaga Adjudikasi Pemilu (LAP) semacam quasi judicaiary tanpa mengamanden Pasal 24 UUD 1945, namun cukup merevisi UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Peradilan dengan mengadopsi sanksi administrasi bukan sanksi pidana dan denda.
.
.