REFLEKSI AKHIR TAHUN, FK GMNU DISKUSIKAN DEMOKRASI VERSUS OLIGARKI NEPOTISME

Redaksi Indonesia News
0

Jakarta, www.indonesianews.my.id (28/12/2022) – Diskusi Terbuka Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdlatul Ulama (FK-GMNU) dengan tema “Refleksi Akhir Tahun Demokrasi Indonesia: Antara Demokrasi Konstitusional versus Oligarki-Nepotisme”, pada Hari Rabu tanggal 28 Desember 2022, pukul 17.30 - 21.30 WIB, di Cafe Sastra Balai Pustaka,  Jl. Bunga No. 8-8A  Matraman Jakarta Timur 13140. Diskusi mengundang beberapa pembicara diantaranya: 1) Saleh Isre,  LKiS & Romawi Pres Yogyakarta. 2) Asgar Tuhulele, Praktisi Hukum. 3) Sahlul Fuad, Dosen PTIQ Komunikasi & Penyiaran Islam. 4) Munandar Nugraha, Ketua Bawaslu DKI Jakarta. 5) Addien Jauharudin,  Aktivis NU, Bendahara Umum PP GP-ANSOR. Diskusi dihadiri puluhan peserta secara offline dan online, malalui google meet dan diikuti mahasiswa dari berbagai kampus (UI, Unsoed, Unusia, Undip, dan lainnya) dan beberapa aktivis PB PMII.

Asgar Tuhulele, Praktisi Hukum menyampaikan beberapa pandangan bahwa Demokrasi memberi ruang pada jalur kolaborasi. Oligarki dipandang sebagai keniscayaan, bahkan di negara lain sekalipun, pada akhirnya muncul oligar-oligar, yang lahir dari sistem demokrasi. Sehingga keberadaan oligarki tidak bisa dinafikkan dalam sistem demokrasi. Namun demikian, perjuangan untuk menghadirkan demokrasi yang substansial, harus terus diperjuangkan. Pemateri lain memberikan padangan bahwa Demokrasi pada akhirnya harus mengambil bagian, untuk melakukan regenerasi dan suksesi kepemimpinan pada yang muda. 

Beberapa refleksi demokrasi di Indonesia, ditanggapi oleh beberapa penanggap. Hadir sebagai penanggap, Oky Tirto (Dosen UNUSIA Jakarta), Ahmad Munir (Sekjend Forum Alumni PMII UI), Abdul Ghofur (Lembaga Kajian Strategi Bangsa), Mbak Adhi (Sekjend DPP Perempuan Sarinah, Fatur (Alumni Unusia Jakarta) dan penanggap lainnya.

Oky Tirto, Dosen UNUSIA Jakarta menanggapi diskusi refleksi akhir tahun ini, merespon agar para pemateri mendudukan demokrasi dan oligarki, dalam posisi yang tepat, baik dalam konteks kajian akademik, atau dalam konteks kajian politis. Jika dilihat secara akademik, maka munculnya oligarki bisa menjadi fenomena yang hadir di semua negara demokrasi, walaupun masih perlu kajian dan penelitian serius. Namun jika dilihat secara politis, maka oligarki bisa memasuki titik titik kekuasaan, dengan cara yang prosedural, yang pada akhirnya tidak mungkin prosedur demokrasi, ditempuh karena disisi prosedur juga mungkin mengandung ketidaksesuaian. 

Ahmad Munir memberikan tanggapan, 1) Bahwa demokrasi dan oligarki, menjadi dua kutub yang tidak bisa dilihat hitam dan putih, akan tetapi demokrasi sebagai bagian dari sistem berelasi dengan oligarki, dan umumnya direspon publik dengan dua pilihan; Pertama, melakukan perlawanan terhadap oligarki secara revolusioner, artinya narasi mayoritas menentang oligarki. Kedua, berkolaborasi dengan oligarki, yakni mempertahankan kondisi yang ada. 2) Demokrasi menghendaki transisi demokrasi dilalui dengan jalan yang konstitusional, sehingga transisi demokrasi, dapat menghadirkan regenerasi kepemimpinan yang lahir dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam konteks kepemimpinan nasional, sayangnya regenerasi kepemimpinan tidak hadir, yang terjadi justru watak oligarki yang sesungguhnya, yang tampak dalam kontek kepemimpinan nasional. Misalnya, ketum-ketum partai lewat mekanisme apapun berusaha mempertahankan kekuasaan politiknya, bahkan bisa diregenerasi ke ranah keluarga. Ini memperlihatkan watak oligarki yang sangat nyata. 

Mbak Adhi, Sekjen DPP Perempuan Sarinah melihat demokrasi subtansinya mensejahterakan. Jika demokrasi tidak menghadirkan kesejahteraan, maka demokrasi dapat dinilai gagal sebagai sebuah sistem. Bahkan dalam konteks mengadvokasi kesetaraan perempuan, untuk mengambil ruang-ruang berdemokrasi, saat ini juga belum sehat.

Abdul Ghopur, Direktur Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) menyoroti demokrasi dari aspek pelaku-pelaku. Oligarki menurutnya bermain pada level shadow demokrasi. Secara tidak langsung, jalannya konstitusi dan kekuasaan, tidak lepas dari kepentingan oligarki, baik yang sedang berkuasa, atau yang tidak berkuasa.

Beberapa rekomendasi dari diskusi ini, Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdlatul Ulama (FK-GMNU) diharapkan melakukan kajian secara serius, merespon perkembangan demokrasi, yang cenderung stagnan, dan mengikuti sistem kontrol yang dikembangkan oligarki. Narasi ini tidak memberi ruang pada elemen civil society, untuk melakukan perubahan tatatan sosial secara masif. 

Amsar A. Dulmanan Koordinator Nasional FK-GMNU memberikan benang merah diskusi, bahwa oposisi menggunakan watak memusuhi oligarki, untuk meraih kekuasaannya. Sedangkan incumbent menggunakan watak konstitusi, dalam berasosiasi dengan oligarki. Kedua-keduanya pada dasarnya menggunakan jalur kolaborasi, untuk berkompromi dengan oligarki.


Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

INDONESIANEWS.MY.ID

Media Indonesia Maju
To Top